Menghadiahkan Pahala Bacaan Al-Qur’an untuk Mayit

Share :



Seorang laki-laki bertanya kepada Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ibuku meninggal mendadak, sementara beliau belum berwasiat. Seandainya beliau sempat berbicara, saya yakin beliau akan bersedekah. Apakah beliau akan mendapatkan pahala jika saya bersedekah atas nama beliau?” Kanjeng Nabi menjawab, “Ya, bersedekahlah atas nama ibumu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadits tersebut para ulama bersepakat boleh menghibahkan atau menghadiahkan pahala (ihda’uts tsawab) dari sedekah kepada mayit. Pahalanya pun akan sampai kepada mayit. Sebagaimana doa dan istighfar (permohonan ampunan), semua bermanfaat bagi mayit.

Lantas, bagaimana dengan pahala bacaan al-Qur’an?

KH. Ali Ma’shum dalam Hujjah Ahlissunnah wal Jama’ah menyatakan bahwa hal ini termasuk masa’il al-furu’ al-khilafiyah (permasalahan cabang yang melahirkan perbedaan pendapat di antara para ulama). Ada yang membolehkan, ada pula yang berpendapat sebaliknya. Masing-masing memiliki dalil tersendiri. Sampai kapan pun masalah ini akan tetap menjadi khilafiyah para ulama. Jangan sampai masalah ini terus-meneruskan diperdebatkan sehingga meletupkan fitnah dan mengakibatkan perpecahan di antara umat.

Kebolehan menghadiahkan pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit merujuk pada beberapa hujjah berikut:

1.      Hadits Nabi

اِقْرَؤُوْا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ

“Bacalah Yasin atas orang-orang yang meninggal.” (HR. Abu Dawud [3121], Ibnu Majah [1448], Ahmad [20316], an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra [10913], dan lain-lain)

Al-Qurthubi dalam Kitabut Tadzkirah hlm. 287 mengatakan bahwa membaca Yasin ini bisa dilakukan terhadap yang akan maupun telah meninggal.

Kisah Rasulullah pernah menancapkan pelepah kurma di atas kuburan dua orang yang sedang mengalami siksa kubur juga bisa menjadi hujjah akan hal ini. Saat ditanya sahabat mengapa Rasulullah melakukan itu, beliau menjawab, “Mudah-mudahan siksanya diringankan selama dahan (pelepah kurma) itu belum mengering.”

Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan, “jika bacaan tasbih dari dahan pohon kurma saja bisa meringankan siksa kubur, maka bacaan al-Qur’an tentu lebih bisa lagi.” Karena bacaan al-Qur’an dari seorang muslim lebih mulia dan lebih bermanfaat daripada tasbihnya dahan pohon.

 

2.      Riwayat Sahabat

Abdurrahman bin al-‘Ala’ bin al-Lajlaj meriwayatkan dari ayahnya, bahwa ayahnya berpesan agar dibacakan permulaan dan penutup dari surah al-Baqarah setelah ia dimakamkan. Karena ia pernah mendengar Rasulullah bersabda demikian. (ath-Thabrani dalam al-Kabir: 19/221)

 

3.      Ulama Empat Madzhab

Syekh Az-Zaila’i dari madzhab Hanafi mengatakan:  

أَنَّ الْإِنْسَانَ لَهُ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ، عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، صَلَاةً كَانَ أَوْ صَوْمًا أَوْ حَجًّا أَوْ صَدَقَةً أَوْ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ أَوْ الْأَذْكَارَ إلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ جَمِيعِ أَنْوَاعِ الْبِرِّ، وَيَصِلُ ذَلِكَ إلَى الْمَيِّتِ وَيَنْفَعُهُ

“Seseorang boleh menjadikan pahala amalnya untuk orang lain, menurut pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah, baik berupa shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan al-Qur’an, dzikir, dan semua jenis amal kebaikan lainnya. Pahala itu sampai kepada mayit dan bermanfaat baginya.” (Usman bin Ali Az-Zaila’i, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzud Daqaiq: 2/83)

 

Syekh Ad-Dasuqi dari madzhab Maliki mengatakan:

وَإِنْ قَرَأَ الرَّجُلُ، وَأَهْدَى ثَوَابَ قِرَاءَتِهِ لِلْمَيِّتِ، جَازَ ذَلِكَ، وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ أَجْرُهُ.

“Jika seseorang membaca Al-Qur’an, dan menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit, maka hal itu diperbolehkan, dan pahala bacaannya sampai kepada mayit.” (Muhammad bin Ahmad bin Arafah Ad-Dasuqi, Hasyiyatud Dasuqi Alas Syarhil Kabir, juz 4, hlm. 173).

 

Imam Nawawi dari madzhab Syafi’i mengatakan:  

وَيُسْتَحَبُّ لِلزَّائِرِ أَنْ يُسَلِّمَ عَلَى الْمَقَابِرِ، وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ أَهْلِ الْمَقْبَرَةِ، وَالأَفْضَلُ أَنْ يَكُوْنَ السَّلَامُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبَتَ فِي الْحَدِيْثِ، وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ، وَيَدْعُو لَهُمْ عَقِبَهَا.

“Disunnahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada (penghuni) kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua penghuni kubur. Salam serta doa lebih diutamakan menggunakan apa yang sudah ditetapkan dalam hadis Nabi. Begitu pula, disunnahkan membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an, dan berdoa untuk mereka setelahnya.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, hlm. 311).

 

Syekh Ibnu Qudamah dari madzhab Hambali berpendapat:  

وَأَيُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا، وَجَعَلَ ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ، نَفَعَهُ ذَلِكَ، إنْ شَاءَ اللَّهُ. أَمَّا الدُّعَاءُ، وَالِاسْتِغْفَارُ، وَالصَّدَقَةُ، وَأَدَاءُ الْوَاجِبَاتِ، فَلَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا

“Apapun ibadah yang dia kerjakan serta dia hadiahkan pahalanya kepada mayit muslim, akan memberi manfaat untuknya. Insya Allah. Adapun doa, istighfar, sedekah, dan penunaian kewajiban maka saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat (akan kebolehannya).” (Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Al-Mughni, juz 5, hlm. 79)

 

4.      Pendapat Ibnu Taimiyah

Mereka yang menolak ihda’uts tsawab kerap menjadikan Ibnu Taimiyah sebagai sumber rujukan mereka. Namun, dalam hal ini, Ibnu Taimiyah justru mendukung pendapat dibolehkannya ihda’uts tsawab. Berikut adalah paparan Ibnu Taimiyah:

وأما القراءة والصدقة وغيرهما من أعمال البر فلا نزاع بين علماء السنة والجماعة في وصول ثواب العبادات المالية كالصدقة والعتق كما يصل إليه أيضا الدعاء والاستغفار والصلاة عليه صلاة الجنازة والدعاء عند قبره. وتنازعوا في وصول الأعمال البدنية: كالصوم والصلاة والقراءة. والصواب أن الجميع يصل إليه

“Adapun bacaan Al-Quran, sedekah, dan ibadah lainnya termasuk perbuatan yang baik. Tidak ada perselisihan di antara para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah tentang sampainya pahala ibadah maliyah (harta benda), seperti sedekah dan memerdekakan budak. Begitu pula dengan doa, istighfar, shalat jenazah, dan doa di kuburan. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat tentang sampainya pahala ibadah badaniyah, seperti puasa, shalat, dan bacaan (Al-Qur’an). Pendapat yang benar, semua amal tersebut tetap sampai kepada mayit.” (Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 24, h. 366)

Bukankah Manusia Tidak Memperoleh Selain Apa yang Diusahakannya (Q.S. an-Najm [53]: 39)?

 

وَمَنِ احْتَجَّ عَلَى ذَلِكَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى فَحُجَّتُهُ دَاحِضَةٌ (اَيْ بَاطِلَةٌ) فَإِنَّهُ قَدْ ثَبَتَ بِالنَّصِّ وَاْلإِجْمَاعِ أَنَّهُ يَنْتَفِعُ بِالدُّعَاءِ لَهُ وَاْلاِسْتِغْفَارِ وَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ وَغَيْرِ ذَلِكَ (المسائل والأجوبة لابن تيمية 1 / 132(

“Orang yang berhujjah tidak sampainya pahala kepada orang yang telah wafat dengan firman Allah ‘Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya’ (Q.S. an-Najm [53]: 39), maka hujjahnya batal/salah besar. Sebab telah dijelaskan dalam nash al-Quran-Hadis dan Ijma’ Ulama bahwa mayit menerima manfaat dari doa untuknya, istighfar, sedekah, memerdekakan budak, dan sebagainya” (al-Masail wa al-Ajwibah li Ibni Taimiyah: 132)

Lebih lanjut Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ada beragam penafsiran atas ayat tersebut. Tetapi, pendapat yang lebih benar adalah ayat tersebut menjelaskan bahwa seseorang tidak berhak memiliki atas apa yang dikerjakan oleh orang lain. Namun demikian, ia berhak mendapatkan manfaat dari amalan orang lain tersebut.

Karenanya, Allah Ta’ala tidak berfirman:

 وَألَّا يَنْتَفِعَ الْإِنْسَانُ إِلَّا بِمَا سَعَى

“Bahwasanya seorang manusia tiada mendapatkan manfaat selain dengan apa yang telah diusahakannya.”

Tetapi,

 وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

"Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (berhak memiliki) selain apa yang telah diusahakannya." []

Daftar Isi [Tutup]

    Newer
    Older

    0 Comments

    Post a Comment