Silaturahim atau Silaturahmi, Manakah yang Benar?
Perdebatan Tak Berkesudahan Perihal Kata “Silaturahim”
dan “Silaturahmi”
Saya bukan sarjana bahasa dan sastra. Juga
bukan ahli bahasa. Akan tetapi, semenjak berkecimpung di dunia penerbitan, baik
sebagai penulis maupun editor, segala persoalan tentang bahasa terasa sangat menggiurkan
untuk dibincangkan.
Satu di antaranya adalah kata “silaturahmi”.
Kata ini selalu menjadi perdebatan tahunan setiap menjelang lebaran. Ada yang alergi
dengan kata ini karena dipandang tidak islami. Menurut mereka, kata yang benar
adalah “silaturahim”, bukan “silaturahmi”. Ada yang berpandangan bahwa kedua
kata tersebut memiliki maksud dan makna yang sama, sehingga bisa saling
bertukar untuk digunakan. Ada yang berpendapat bahwa “silaturahim” digunakan khusus
untuk hubungan kekerabatan dekat (sesama anggota keluarga dari satu
rahim/kandungan), sementara “silaturahmi” digunakan untuk hubungan kekerabatan jauh
atau bahkan tidak memiliki hubungan kandung sama sekali.
Kata Serapan
Dalam kajian bahasa Indonesia kita
mengenal istilah “kata serapan”, yakni kata yang berasal dari bahasa lain yang
telah diintegrasikan ke bentuk bahasa dan telah diterima pemakaiannya secara
umum. Ada yang diserap dari bahasa Sansekerta, Arab, Belanda, Jawa, Portugis, Inggris,
dan lain-lain.
Karena tema “silaturahim vs silaturahmi”
erat kaitannya dengan bahasa Arab, maka perlu saya kemukakan beberapa contoh
kata lain yang diserap dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia (sesuai dengan
Kamus Besar Bahasa Indonesia alias KBBI).
Adzan ( أذان ) à menjadi Azan
Sholat
( صلاة ) à menjadi Salat.
Zhuhur/Zhuhri ( ظهر ) à menjadi Zuhur
Shubuh/Shubhi (
صبح ) à
menjadi Subuh
Ustadz ( أستاذ ) à menjadi Ustaz
Ramadhan/Ramadlan ( رمضان ) à menjadi Ramadan
Qolbu
( قلب ) à menjadi Kalbu
Qirthos ( قِرْطَاس ) à menjadi Kertas
Qorobah ( قَرَابَة ) à menjadi Kerabat
Fithri ( فطر) à menjadi Fitri
Jadi, yang Benar “Silaturahim” atau “Silaturahmi”?
Dalam tinjaun bahasa arab, kata
“Silaturrahim” terdiri dari dua kata, yaitu صِلَةُ yang
berarti koneksi, relasi, sangkut-paut, keterkaitan, hubungan, ikatan; danالرَّحِمِ yang berarti rahim alias tempat janin sebelum
dilahirkan. Dengan demikian, صِلَةُ الرَّحِمِ (shilatur rahim) berarti hubungan baik dengan orang
yang masih memiliki ikatan rahim atau darah.
Kanjeng Nabi juga menggunakan istilah صِلَةُ الرَّحِمِ dalam beberapa sabdanya, di antaranya:
عَنْ
أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "إِنَّ الرَّحِمَ
شِجْنَةٌ مُتَمَسِّكَةٌ بِاْلعَرْشِ تَكَلَّمَ بِلِسَانٍ ذَلِقٍ: "اَللَّهُمَّ
صِلْ مَنْ وَصَلَنِي وَاقْطَعْ مَنْ قَطَعَنِي". فَيَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى:
"أَنَا الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ، وَإِنِّي شَقَقْتُ لِلرَّحِمِ مِنَ اسْمِي، فَمَنْ
وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ نَكَثَهَا نَكَثْتُهُ". [أخرجه الهيثمي [
Artinya: Diriwayatkan dari Anas, diriwayatkan dari
Rasulullah SAW, beliau bersabda, "Sesungguhnya rahim (kekerabatan) itu
adalah cabang kuat di 'Arsy berdoa dengan lisan yang tajam: "Ya Allah
sambunglah orang yang menyambungku dan putuslah orang yang memutusku, Maka
Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman, "Aku adalah ar-Rahman ar-Rahim.
Sungguh Aku pecahkan dari namaKu untuk rahim (kekerabatan), maka barangsiapa
menyambungnya niscaya Aku menyambung orang itu, dan barangsiapa memutuskannya
pasti Aku memutuskan orang itu," (HR al-Haitsami).
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ
لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ”. [رواه البخاري ومسلم واللفظ للبخاري]
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, ia berkata: Saya
mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang suka dilapangkan
rezekinya atau ditambahkan umurnya maka hendaklah ia menyambung
kekerabatannya”.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].
نْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: “مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ،
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ، وَمَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ”. [رواه
البخاري
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, diriwayatkan dari
Nabi saw, beliau bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir
hendaklah ia menghormati tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari
akhir hendaklah ia menyambung kekerabatannya. Barangsiapa beriman kepada Allah
dan hari akhir hendaklah ia berbicara yang baik atau hendaklah ia diam”.” [HR.
al-Bukhari].
Sampai di sini, apakah sudah terang
dan gamblang tanpa menyisakan persoalan? Ternyata, belum. Masih pertanyaan lanjutan
yang dapat kita kemukakan, “Apakah kerabat, sanak, atau saudara yang tidak
memiliki hubungan rahim atau darah tidak termasuk termasuk dalam kategori shilatur
rahim?”
Ada sebagian ulama yang mendefinisikan
shilatur rahim sebagai hubungan dua orang atau lebih yang memiliki ikatan
kemahraman (haram dinikahi). Ada juga yang mengartikannya sebagai hubungan dua
orang atau lebih yang memiliki relasi mawarits (saling mewarisi). Bahkan, ada
yang memperluas makna shilatur rahim tidak hanya hubungan kemahraman dan
mawarits, tetapi siapa pun yang memiliki hubungan kekerabatan baik dekat maupun
jauh, baik ada kaitan nasab maupun tidak.
Ketika shilatur rahim diserap
ke dalam bahasa Indonesia, ejaannya mengalami perubahan dan maknanya pun mengalami
perluasan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak akan kita temukan kata
“silaturahim”, apalagi “shilatur rahim” atau “shilaturrahim”. Menurut KBBI,
sebagai acuan baku dalam berbahasa Indonesia, “silaturahmi” berarti tali persahabatan
(persaudaraan).
Dengan demikian, dapat kita lihat
bahwa silaturahim, silaturahmi, shilatur rahim, dan shilaturrahim mempunyai maksud
yang sama, hanya berbeda penulisan/ejaan. Jika “shilaturrahim” adalah
bentuk baku dalam bahasa Arab, maka “silaturahmi” merupakan bentuk baku dalam
bahasa Indonesia. Menurut saya, silakan gunakan kata mana pun yang lebih mudah dimafhumi
dan lebih nyaman untuk diucapkan.
Ada kaidah yang menyebutkan:
لا مشاحة
فى الاصطلاح
“Tidak ada perdebatan dalam istilah
(jika hakihatnya sama)”
العبرة بالحقائق
لا بالمسميات
“Yang dinilai adalah hakikatnya, bukan
nama yang digunakan”
Jangan Katakan “Hubungan Silaturahim”!(?)
Sebagian orang ada yang mempermasalahkan
kata “silaturahim” yang didahului dengan kata “hubungan” sehingga menjadi “hubungan
silaturahim”. Menurut mereka, ada
pemubaziran kata karena kata shilat/shilah sendiri sudah berarti “hubungan”.
Pandangan ini memang benar. Ada pemubaziran
kata dalam kalimat “hubungan silaturahim”. Namun, hal ini tidak perlu diambil risau,
karena negara tidak jarang juga memubazirkan kata. Coba Anda lihat spanduk-spanduk
yang dipasang di pinggir-pinggir jalan, baik milik instansi-instansi pemerintah
maupun para anggota dewan, memberikan ucapan selamat Idul Fitri dengan kalimat “Selamat
Hari Raya Idul Fitri”. Semestinya cukup “Selamat Idul Fitri” atau “Selamat Hari
Raya Fitri”. []
Dipublikasikan ulang dari: https://babarusyda.blogspot.com/2023/04/silaturahmi-atau-silaturahim.html
Daftar Isi [Tutup]
0 Comments
Post a Comment